Sabtu, 24 April 2010

Perlindungan Hak Cipta di Dunia Cyber

Indonesia telah mengikatkan diri dalam berbagai perjanjian internasional yang berkaitan dengan hak milik intelektual. Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1994 merupakan bukti bahwa Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) yang melekat dengannya beberapa perjanjian internasional lainnya, seperti Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 1995. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Berne Convention for the Protection of Scientific, Artistic and Literary Works tahun 1886 dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 18 Tahun 1997 dan Paris Convention For the Protection of Industrial Property 1883.


Tindak lanjut dari berbagai ratifikasi perjanjian internasional yang telah dilakukan oleh Negara Indonesia adalah merumuskannya dalam bentuk perundangan nasional, sehingga kepastian hukum dalam berbagai bidang hak milik intelektual dapat diwujudkan. Atas dasar itulah kemudian Indonesia memiliki beberapa undang-undang dalam bidang hak milik intelektual, yakni :


1. UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

2. UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten

3. UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

4. UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman

5. UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang

6. UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri <


7. UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain tata Letak Sirkuit Terpadu. Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi secara global membawa dampak luas di tengah-tengah kehidupan masyarakat nasional dan internasional. Kemajuan tersebut tidak hanya telah menciptakan perdagangan dengan menggunakan elektronik (electronic commerce – e-commerce), sehingga telah melenyapkan konsep jual beli secara konvensional, tetapi sekaligus juga telah menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan masyarakat terhadap ekses-ekses negative dari teknologi tersebut, seperti kejahatan terhadap credit card atau Anjung Tunai Mandiri (ATM).


Tanggal 21 April 2008 merupakan tonggak sejarah bagi perkembangan hukum di Indonesia. Pada tanggal tersebut Pemerintah Indonesia telah mengundangkan undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kehadiran UU ini membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia harus mengikuti arus globalisasi dalam segala bidang, termasuk dalam transaksi elektronik yang jelas berbeda dengan perbuatan hukum pada umumnya. Pemberlakuan UU ini sekaligus juga menjawab tantangan hukum di dunia maya atau hukum siber yang selama ini belum diatur secara khusus di Indonesia.


Ciri khas dari perbuatan hukum siber ini, pertama, kendatipun perbuatan hukum itu dilakukan di dunia virtual yang tidak mengenal locus delicti, tetapi perbuatan itu berakibat nyata (legal facts), sehingga perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatan yang nyata pula. Dengan demikian segala bukti yang terdapat dan menggunakan teknologi informasi, seperti e-mail dan lain-lain dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Kedua, UU ini juga tidak mengenal batas wilayah (borderless) dan siapa pelakunya (subyek hokum), sehingga siapapun pelakunya dan dimanapun keberadaannya tidak begitu penting asalkan perbuatannya tersebut dapat menimbulkan akibat hukum di Indonesia. Jadi, yang terpenting disini adalah bahwa perbuatan hukum itu menimbulkan kerugian terhadap kepentingan Indonesia yang meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan, serta badan hukum Indonesia.


Menurut Pasal 1 angka 2 UU Nomor 11 Tahun 2008, yang dimaksud dengan transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan computer, jaringan computer, dan/atau media elektronik lainnya. Ini berarti bahwa siapapun dan dimanapun dapat saja melakukan perbuatan hukum yang dapat menimbulkan konsekuensi yuridis bagi dirinya dan orang lain. Dengan demikian suatu kontrak yang dibuat oleh para pihak dengan transaksi elektronik sepanjang memenuhi ketentuan yang berlaku adalah sah dan mengikat. Seperti dalam kontrak pada umumnya, para pihak juga dapat menentukan pilihan hokum yang diberlakukan terhadap kontrak yang dibuatnya. Bilamana para pihak tidak menentukan choice of law dalam kontraknya, maka penentuan hokum yang akan berlaku ditentukan berdasarkan asas hokum perdata, seperti renvoi dan double renvoi. Disamping itu, para pihak juga dengan bebas dapat menentukan lembaga yang akan ditunjuk untuk penyelesaian sengketa, bilamana muncul sengketa dalam transaksi elektronik tersebut.


Keterkaitan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan berbagai UU dalam hak milik intelektual sangat dekat. Sebab, semua informasi dan atau dokumen elektronik yang disusun merupakan obyek yang dilindungi berdasarkan UU Hak Cipta. Demikian juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan rejim paten, merek, perlindungan varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri dan desain tata letak sirkuit terpadu juga tunduk pada ketentuan perundangan masing-masing.

1 komentar:

  1. kalao blog aku ada cahsback hingga 70%
    Kunjungi : free-oye.blogspot.com

    BalasHapus